Tanjung Redeb, kompasindonesianews.com - Keberadaan aktivitas pertambangan yang dekat dengan fasilitas umum, diduga pemicu terjadinya benc...
Tanjung Redeb, kompasindonesianews.com - Keberadaan aktivitas pertambangan yang dekat dengan fasilitas umum, diduga pemicu terjadinya bencana.
Terutama tanah longsor yang terjadi mengakibatkan rusaknya poros jalan lintas Provinsi Kaltim, tepatnya di Teluk Bayur (Tangab) Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur.
Aktivitas penambangan menunjukkan galian tambang sudah di badan jalan, sehingga mengakibatkan ambruknya jalan tersebut.
Dari pengamatan, aktivitas pertambangan yang menjadi sorotan ini, masih berada dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Bara Jaya Utama (BJU).
Namun, tentunya perusahaan kelas BJU tidak harus tabrak rambu-rambu.
Jalan yang ambruk akibat galian penambangan tersebut, menunjukkan jarak lubang tambang di sisi jalan bahkan galian tersebut sudah mencapai bahu jalan.
Kondisi ini, menyalahi berbagai aturan seperti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara, bahwa jarak minimal tepi galian lubang tambang dengan pemukiman warga adalah 500 meter.
Selain itu, Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2011 Tentang Sungai mengatur tentang sempadan sungai paling sedikit 50 meter kiri dan kanan sungai untuk sungai kecil dan 500 meter untuk sungai besar.
Sempadan sungai yang fungsinya untuk konservasi tidak seharusnya juga ditambang. Ditambah Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi Pasca Tambang, perusahaan tambang seharusnya menutup lubang tambang setelah melakukan pengerukan.
Salah seorang pengguna jalan Rony yang saat itu melihat kondisi jalan, menuturkan, walau diduga melanggar aturan tetapi selama ini tidak ada penindakan pemerintah aparat terkait terhadap pelaku tambang ini.
Menurutnya, nihilnya penindakan menunjukkan pemerintah daerah dan para aparat terkait diduga berkompromi dengan korporasi yang tidak bertanggung jawab.
"Pada hal, UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur hak-hak masyarakat terhadap lingkungan hidup ataupun terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Salah satunya Pasal 65 yang mengatur hak setiap orang atas lingkungan hidup," imbuhnya
Menurutnya, di wilayah yang sama, sekitar 762 meter dari longsor tersebut, juga pernah dilakukan pemindahan jalan negara karena longsor akibat aktivitas tambang.
Artinya kejadian ini selalu terulang dan pemerintah kembali lagi, diduga terbukti lalai dan selalu membiarkan kerusakan lingkungan terjadi seolah-olah Pemerintah di bawah kekuasaan korporasi.
"Tata kelola pertambangan yang masih carut marut dan serampangan ini membuktikan bahwa pemerintah dan penegak hukum selalu lalai dan membiarkan kejadian selalu berulang," imbuhnya, saat dilokasi Jumat (31/3/2023).
Ia menambahkan, selain kerusakan lingkungan, aktivitas pertambangan di dianggap seperti uang logam yang memiliki dua sisi yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial.
Sebagai sumber kemakmuran, sektor ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun dan penyediaan lapangan kerja.
Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka dapat mengubah secara total, baik iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan.
"Secara sistematis pemerintah berupaya mempertahankan eksistensi pertambangan. Bahkan dengan berani menggadaikan nasib generasi mendatang. Kehancuran lingkungan hidup, penderitaan masyarkat adat, menurunnya kualitas hidup penduduk lokal, dan kehancuran ekologi hutan," ujarnya.
Lebih jauh dia menjelaskan, berdasarkan UUD 1945 dalam pembukaan pada alenia keempat secara tegas dinyatakan bahwa tugas umum pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
"Berlakunya Undang-Undang 32 tahun 2004 menjadikan daerah memiliki otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab sejalan dengan semakin besarnya wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki pemerintah daerah tersebut, maka perlu adanya pengaturan kewenangan yang jelas sehingga akan menghasilkan kualitas hasil yang baik pula," pungkasnya. (Fendy)